Mega-Berita.com SANGGAU – Keputusan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pontianak, dalam dua kasus tindak pidana korupsi yang diungkap oleh Kejaksaan Negeri Sanggau pada tahun 2024 menimbulkan pertanyaan banyak pihak.
Kasus pertama tindak pidana korupsi Kepala Desa Semongan Jaja Miharja Haryanto Suhendri, yang terbukti menyelewengkan dana desa senilai Rp 417 juta dihukum dituntut 2 tahun 4 bulan dan divonis 2 tahun penjara.
Sementara itu Gema Liliyantia seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di Disperindagkop dan UM Kabupaten Sanggau yang merugikan negara hingga Rp 4,4 miliar dalam kasus korupsi Pungutan Liar (Pungli) Tera Timbangan hanya dituntut 1 tahun 6 bulan dan divonis 1 tahun penjara.
Persidangan kedua kasus ini dipimpin Ketua Majelis Hakim Tri Retnaningsih dan dengan hakim anggota Edwar Samosir, Arif Hendriyana.
Kemudian dengan Jaksa Penuntut (JPU) Raynaldi B Napitupulu,Tedy Jaksyurahman, Bela Septirestari, Esther M. Sondang.
Ketidakadilan hukuman ini memicu pertanyaan besar mengenai proses peradilan huku mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia.
Masyarakat Kabupaten Sanggau dan sejumlah praktisi hukum menilai ada disparitas yang mencolok dalam putusan pengadilan tersebut. Sebagian besar menilai bahwa hukuman yang dijatuhkan tidak memberikan efek jera, terutama terhadap ASN yang terlibat dalam korupsi dengan kerugian negara yang jauh lebih besar.
Yang lebih memprihatinkan, tidak ada pengembalian dana negara atau penyitaan hasil pungutan liar yang dilakukan Gema.
Pengamat hukum Herman Hofi Munawar, mengkritik keputusan ini dan menyatakan bahwa disparitas hukuman tersebut menunjukkan adanya disorientasi dalam sistem peradilan yang seharusnya lebih fokus pada keadilan bagi masyarakat.
“Putusan ini bisa memunculkan ketidakpercayaan terhadap lembaga peradilan,” ujar Hofi Munawar kepada infokalbar lewat sambungan handphon, Rabu malam,18 Desember 2024.
Pelaksana Harian (PLH) Ketua Forum Wartawan & LSM Kalbar Indonesia Sujanto, menilai tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Gema Liliyantia tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi.
“Hukuman 1 tahun penjara untuk kerugian Rp 4,4 miliar jelas tidak memberikan efek jera. Ini justru bisa memberi pesan bahwa korupsi dalam jumlah besar masih bisa dihukum ringan,” ungkap Sujanto.
Senada dengan Sujanto, Sekjen FW & LSM Kalbar Indonesia Wawan Daly Suwandi, menyebutkan bahwa perbedaan hukuman ini membingungkan masyarakat.
Beredarnya keputusan yang dinilai tidak adil ini mendorong harapan masyarakat agar Presiden Prabowo Subianto, yang memiliki komitmen besar dalam pemberantasan korupsi segera turun tangan.
Pemerintah diharapkan dapat mengevaluasi dan memastikan bahwa hukum benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu terlebih dalam kasus-kasus yang melibatkan kerugian negara dalam jumlah besar.