Mega-Berita.com Hari Pers Nasional 2023 memunculkan kontroversi di kalangan
insan pers tanah air pasca Presiden Republik Indonesia Joko Widodo
mengungkapkan kesedihannya terkait 60 persen belanja iklan diambil oleh media
digital, terutama oleh platform-platform asing. Atas dasar itu, Presiden
Jokowi menyebutkan kalau dunia pers saat ini tidak sedang baik-baik
saja.
Pernyataan Presiden Jokowi ini menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat
pers. Sebab ada dua data berbeda yang bergulir di masyarakat. Di HPN 2023 di
Medan, Sumatera Utara, (9/2)2023), Presiden Jokowi mengungkap ada 60 persen
belanja iklan diambil media digital, terutama platform asing.
Pada sisi ini, masyarakat pers seolah terhentak dan heboh dengan data belanja
iklan media yang diambil platform asing tersebut. Di sisi lain, ada data
pembanding mengenai total belanja iklan di Indonesia yang dapat dijadikan
rujukan yakni berdasarkan hasil riset PT The Nielsen Company Indonesia,
sebuah perusahaan riset pasar global yang berkantor pusat di New York City,
Amerika Serikat.
Berdasarkan riset Nielsen Indonesia pada tahun 2022 lalu, bukan media digital
yang meraih iklan 60 persen dari total belanja iklan sebagaimana disebutkan
Presiden Jokowi, melainkan peraih iklan terbesar adalah media Televisi
Nasional.
Dalam rilis laporan tahunannya, Nielsen menghitung gross rate belanja iklan
untuk televisi, channel digital, media cetak dan radio mencapai Rp 259 triliun
sepanjang tahun 2021. Dalam laporan itu, disebutkan media televisi masih
menjadi saluran iklan pilihan perusahaan pengguna jasa periklanan atau
pengiklan dengan jumlah belanja iklan 78,2%.
Belanja iklan untuk media digital hanya pada kisaran 15,9%, kemudian media
cetak 5,5%, dan radio 0,4% dari total belanja iklan tahun 2021 sebesar Rp.259
Triliun.
Pada penghujung tahun 2022, Nielsen Indonesia juga mencatat belanja iklan pada
semester I saja sudah mencapai Rp 135 triliun atau naik tujuh persen dari
periode yang sama tahun 2021 yakni sebesar Rp 127 triliun.
Perolehan itu masih dikuasai oleh, lagi-lagi, media televisi yang mendominasi
sebesar 79,7 persen. Penyaluran belanja iklan melalui Media digital hanya
sebesar 15,2 persen, media cetak 4,8 persen dan radio hanya 0,3 persen dari
total belanja iklan semester pertama tahun 2022 senilai Rp 135 triliun.
Berdasarkan data tersebut, makin jelas terungkap bahwa Belanja Iklan itu
justeru dikuasai oleh media TV Nasional bukan media digital atau platform
asing.
Kontroversi dua data yang berbeda ini tentunya membuka mata publik pers tanah
air untuk melihat dan menyikapi persoalan kondisi pers di Indonesia yang tidak
baik-baik saja. Jangan-jangan Presiden Jokowi tidak terinformasi secara
menyeluruh terkait kondisi penyaluran belanja iklan nasional yang secara
detail dan transparan saat pidato presiden disusun untuk peringatan HPN 2023
di Kota Medan, (9/2/2023).
Pada kondisi ini, penulis setuju dengan pernyataan Presiden Jokowi bahwa Pers
di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Namun kondisi itu bukan karena
belanja iklan yang dikuasai 60 persen platform asing. Melainkan monopoli
belanja iklan yang justeru dikuasai media TV nasional nyaris 80 persen setiap
tahun yang mencapai angka di atas 100 sampai 200 triliun rupiah sejak tahun
2010.
Yang saat ini diributkan sesungguhnya adalah angka 15 persen dari total
belanja iklan yang diperoleh media digital, atau sekitar Rp.38 triliun. Dari
angka tersebut, 60 persen katanya diambil platform asing atau sekitar Rp.22,8
Triliun.
Bagaimana dengan 78 persen belanja iklan nasional yang dikuasai oleh media TV
nasional sebesar kurang lebih Rp.200 triliun. Smester I tahun 2022 saja
perusahaan media TV meraup Rp 127 triliun. Semua tau bahwa pemilik perusahaan
TV nasional hanya terdiri dari segelintir orang saja.
Monopoli belanja iklan ini justeru tidak dipermasalahkan pemerintah. Padahal,
penyaluran belanja iklan ke media TV terlalu besar dan jelas-jelas terjadi
dugaan monopoli atau dugaan kartel yang berpotensi melanggar Undang-Undang
anti monopoli atau persaingan usaha yang tidak sehat.
Menariknya, Lembaga riset Nielsen Indonesia mengklaim telah melakukan
monitoring terhadap 15 stasiun televisi, 161 media cetak, 104 radio, 200 situs
dan 3 media sosial. Ini artinya, puluhan ribu media online dan ribuan media
cetak lokal tidak masuk dalam hitungan riset nielsen Indonesia.
Jadi total belanja iklan yang mencapai Rp.200 triliun lebih itu hanya
dinikmati oleh para konglomerat media di Jakarta yang berjumlah tidak lebih
dari 10 jari manusia.
Bagaimana dengan puluhan ribu media lokal, online dan cetak, yang mengais
rejeki dari platform asing dari total Rp.22.8 Triliun. Tentunya setuju jika
Pemerintah Pusat membuat regulasi agar dana belanja iklan sebesar itu bisa
turut dinikmati oleh media lokal.
Rancangan Peraturan Presiden atau Perpres pertama yakni Publisher right atau
Perpres tentang kerjasama perusahaan platform digital dengan perusahaan pers.
Rancangan Kedua yakni Perpres tentang tanggung jawab perusahaan platform
digital. Kedua rancangan Perpres itu saat ini tengah digodok pemerintah untuk
mendukung jurnalisme yang berkualitas.
Bagi penulis, Presiden justeru perlu membuat Perpres yang mengatur kerjasama
Agency Periklanan dengan Perusahaan Pers agar tidak terjadi monopoli
penyaluran belanja iklan hanya kepada media mainstream atau media arus utama
nasional, khususnya media TV.
Meskipun pilihan penyaluran belanja iklan oleh pengiklan menggunakan media TV
sebagai pilihan utama, namun perlu juga dibuat regulasi Perpres yang mengatur
itu, agar tidak hanya media digital yang diatur.
Rancangan Perpres tentang kerjasama perusahaan platform digital dengan
perusahaan pers dan rancangan Kedua yakni Perpres tentang tanggung jawab
perusahaan platform digital untuk mendukung jurnalisme yang berkualitas perlu
dibarengi dengan Perpres yang mengatur penyaluran belanja iklan nasional yang
anti monopoli.
Yang paling utama adalah bagaimana pemerintah membuat regulasi agar ada
pemerataan penyaluran belanja iklan karena selama ini hanya terpusat di Kota
Jakarta saja. Dari Rp.200 triliun lebih total belanja iklan nasional, nyaris
90 persen hanya dinikmati perusahaan yang berdomisili di Jakarta.
Padahal, produk yang diiklankan atau dipromosikan, sasaran konsumennya adalah
masyarakat lokal yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Anehnya
perputaran uang hasil penjualan barang dan jasa tersebut seluruhnya tersedot
ke DKI Jakarta.
Anggaran belanja iklan nasional mestinya kembali ke daerah dalam bentuk
pemerataan penyaluran belanja iklan daerah melalui perusahaan distributor atau
perwakilan di setiap provinsi.
Dengan demikian akan terjadi peningkatan kesejahteraan media dan perusahaan
reklame di seluruh Indonesia ketika belanja iklan itu terdistribusi ke seluruh
daerah.
Perhitungannya mungkin tidak sampai merata secara keseluruhan, namun minimal
bisa terdistribusi sebagian persen belanja iklan nasional itu ke seluruh
Indonesia. Karena yang berbelanja produk barang dan jasa yang diiklankan
adalah warga masyarakat atau konsumen lokal.
Perusahaan pers lokal yang selama ini hanya berharap dari kerjasama dengan
pemerintah daerah melalui penyaluran anggaran publikasi media, bisa
mendapatkan peluang untuk meraup belanja iklan komersil dari belanja
iklan.
Jika regulasi ini bisa dibuat pemerintah pusat secara merata baik untuk media
digital maupun media TV, maka peran strategis media lokal sebagai alat sosial
kontor akan benar-benar terpenuhi. Selama ini media-media lokal mengalami
kesulitan untuk menjalankan fungsi sosial kontrol media terhadap kebijakan
pemerintah daerah karena sudah terikat dengan kontrak kerjasama media dengan
pemda.
Dewan Pers sebagi lembaga independen yang memiliki akses untuk memberi saran
dan masukan kepada pemerintah pusat terkait rencana penerbitan Perpres di
maksud, seharusnya lebih proaktif dan peka terhadap persoalan monopoli belanja
iklan nasional oleh konglomerat media.
Yang dilakukan sekarang ini oleh dewan Pers terkesan hanya untuk melindungi
atau memperjuangkan kepentingan konglomerasi media yang terusik dengan
platform media asing yang mendapatkan belanja iklan terbesar dari prosentasi
belanja iklan 15 persen di media digital.
Semoga saja Perpres yang diperjuangkan Dewan Pers itu untuk kepentingan
media online lokal dan bukan untuk kepentingan media arus utama yang masih
menyasar atau mengincar penghasilan dari belanja iklan media digital yang 15
persen tersebut. ***
Penulis :
Heintje Mandagie
Ketua Umum DPP Serikat Pers Republik Indonesia