Mega-Berita.com Pada 14 Desember 2022 lalu, KPU RI telah menetapkan partai
politik peserta Pemilu 2024. Tapi, proses penetapan tersebut mengandung bau
amis. Sebabnya, ada dugaan intervensi, dalam bentuk perintah atau instruksi
yang diikuti dengan intimidasi untuk memanipulasi data yang dilakukan
oleh Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) baik melalui jalur
komisioner maupun sekretariat jenderal.
Jajaran KPU di tingkat pusat disinyalir telah melakukan intervensi serta
intimidasi pada penyelenggara pemilu di tingkat daerah untuk merubah
data dalam proses verifikasi faktual, dan meloloskan partai tertentu menjadi
peserta pemilu.
Atas hal tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih yang terdiri
dari sejumlah organisasi masyarakat sipil kemudian membentuk posko pengaduan
yang menerima laporan kecurangan dalam proses verifikasi faktual partai
politik tadi. Hasilnya, kurang dari sepekan posko dibuka, sudah ada 12
kabupaten/kota dan 7 provinsi yang diduga telah mengikuti instruksi dari KPU
RI dan berlaku curang dalam menetapkan hasil proses pelaksanaan verifikasi
faktual partai politik.
Laporan-laporan yang diterima oleh Koalisi Masyarakat Sipil tersebut pada
akhirnya turut mengurai bagaimana dugaan pelanggaran dan kecurangan terjadi
dalam proses verifikasi faktual partai politik bisa terjadi. Praktik
intervensi telah dilakukan oleh anggota KPU RI yang mendesak KPU di tingkat
provinsi untuk mengubah status data hasil verifikasi faktual keanggotaan
partai politik yang semula berstatus tidak memenuhi syarat (TMS) menjadi
memenuhi syarat (MS).
Perubahan data ini kemudian dimaksudkan mendapatkan kesimpulan partai politik
yang belum memenuhi syarat (BMS) langsung menjadi memenuhi syarat (MS) di
tingkat Kab/ Kota. Namun intervensi tersebut tidak berjalan mulus
lantaran beberapa anggota KPU daerah menolak melakukannya.
Rupanya langkah KPU RI untuk melakukan manipulasi data terhadap hasil
verifikasi faktual tidak berhenti sampai di situ. Sekretaris Jenderal KPU juga
diduga memerintahkan Sekretaris KPU Provinsi untuk melakukan kecurangan yang
sama. Sekretaris Provinsi diminta untuk memerintahkan pegawai sekretariat KPU
daerah yang berperan sebagai admin dan operator Sistem Informasi Partai
Politik (SIPOL) di tingkat kabupaten/kota untuk berkumpul di tingkat provinsi
dan mengubah status verifikasi partai politik.
Dari laporan yang diterima, perintah ini diberikan oleh Sekretaris Jenderal
KPU dengan disertai ancaman mutasi bagi pegawai yang menolak.
Jika rangkaian praktik curang yang mewarnai proses verifikasi faktual partai
politik tersebut terbukti benar, maka penyelenggara pemilu yang terlibat dalam
praktik curang ini telah melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik
penyelenggara pemilu. Prinsip menyelenggarakan pemilu jujur, adil, mandiri,
tidak berpihak, dan berintegritas yang seharusnya diterapkan, justru telah
ditabrak dengan sedemikian bar-bar nya.
Dalam benang kusut dugaan pelanggaran dan kecurangan yang terjadi dalam proses
penyelenggaraan pemilu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) wajib
mengambil langkah serius. Sesuai mandat UU Pemilu, DKPP bertugas menegakkan
kode etik penyelenggara pemilu.
Oleh sebab itu, DKPP wajib menindaklanjuti laporan atas dugaan kecurangan yang
dilakukan oleh KPU di tingkat pusat, dengan segera melakukan penyelidikan dan
verifikasi, serta pemeriksaan atas aduan dan/atau laporan dugaan adanya
pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu.
DKPP patut segera dan dengan sungguh-sungguh melaksanakan tugas dan
wewenangnya untuk melakukan penelusuran lebih jauh terhadap laporan dugaan
kecurangan yang berhasil dihimpun oleh Koalisi Masyarakat Sipil, termasuk
menetapkan sanksi bagi jajaran KPU RI yang terbukti melanggar kode etik dengan
melakukan intervensi, intimidasi, serta manipulasi dalam proses verifikasi
faktual partai politik.
Hadar Nafis Gumay
Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih
cecep kamaruddin